Beberapa hari ini aku dihadapkan
pada pribadi tangguh seorang wanita. Sisi lain kekuatan seorang perempuan yang
membuktikan pernyataan bahwa makhluk terkuat di bumi adalah mereka. Makhluk
Tuhan paling unik, dimana di balik deraian air matanya tersimpan kekuatan
dahsyat yang bisa meluluhlantakkan gunung sekalipun. Kecantikan, keindahan, dan
kepribadiannya telah banyak diceritakan. Mulai dari penaklukan menjadi
kehancuran atau sebaliknya, dari kehancuran menjadi sebuah kemegahan. Apa yang
dirasa tidak mungkin akan terasa mudah karena perempuan. Begitupun sesuatu yang
begitu mudah bisa saja terasa sulit. Itu juga karena perempuan.
Perempuan tangguh yang ingin saya
ceritakan sekarang adalah bukan tentang kepahlawanan, tetapi lebih kepada
ketangguhannya dalam menyikapi hidup. Perempuan ini tidaklah mencita-citakan
kemewahan dalam hidupnya. Keinginan terbesarnya hanyalah dihargai sebagaimana
adanya. Namun, apalah daya ketika semua keinginannya hanya ada dalam angan
belaka.
Sejak ia berpamitan kepada keluarganya lima tahun lalu, siapa sangka itulah pertemuan terakhir baginya. Hendak ia merantau ke negeri jiran meninggalkan keluarganya demi mencari penghidupan yang lebih baik. Rumahnya berada di sebuah desa pedalaman Kupang. Jauh dari hingar bingar.
Perempuan ini tenang dalam
pembawaan, pelan dalam pembicaraan, dan sopan ketika berinteraksi dengan orang.
Apapun kebaikan yang pernah dibayangkan manusia, mungkin ia telah memilikinya.
Sifat ini bisa jadi terbentuk karena keadaan keluarganya. Bisa juga karena
lingkungan tempat tinggalnya jauh dari keramaian dan hingar bingar. Sehingga
memungkinkan ia untuk lebih menghayati keadaan di sekitarnya.
Keberangkatan dirinya
meninggalkan kampung halaman diiringi tangis dan kesedihan oleh keluarganya.
Dia menempuh jalur darat. Dari Kupang, Denpasar, Surabaya kemudian menuju Batam
dengan menggunakan kapal laut. Ini dilakukannya untuk menghemat biaya. Apalagi
modal transportasinya hasil pinjaman tetangga yang prihatin padanya.
Saya pernah diceritakan tentangnya ketika perjalanan. Perempuan ini tak pernah sedikitpun merasa kesusahan. Dalam perjalanannya ada saja seseorang yang selalu membantunya. Seperti mengangkatkan kopernya, membelikan makan untuknya ataupun hal remeh temeh lainnya. Mungkin ada benarnya juga bahwa ketika kecantikan dan kebaikan ada dalam seorang perempuan, maka laki-laki mana yang tega berbuat jahat padanya. Terbukti kebenarannya, orang sabar disayang Tuhan.
Tujuan perjalanan selanjutnya
adalah Tanjung Pinang, pintu masuk negara Malaysia. Dan kota ini mungkin
menjadi sejarah terindah yang pernah ia lalui. Di sini ia dipertemukan dengan
seorang lelaki yang mampu merebut hatinya. Lelaki baik yang dirasa mampu
menjaga hidup dan matinya. Hubungan itu berlanjut sampai mereka berdua masuk ke
Malaysia, Kuala Lumpur tepatnya. Di sana mereka menikah. Menghabiskan masa-masa
indah.
Keindahan pernikahan akan bertambah manakala ketika pohon cinta yang ditanam telah menghasilkan buah. Buah cinta itu telah bersemayam dalam rahimnya setelah hampir setahun mereka menikah. Bertambah lengkap apa yang ia rasa.
Pembersihan oleh pemerintah Malaysia terhadap para pendatang tanpa dokumen lengkap, membuat ia dan suaminya harus kembali ke tanah air. Bermaksud membina rumah tangga di tempat suaminya. Kepulauan kecil dan terpencil di laut Jawa. Meski ia tahu keadaan suaminya sama kekurangannya dengan dirinya, namun pengabdian ia tetap saja mau ikut ke sana. Ingin mendampingi kala sang suami senang atau susah, sedih atau bahagia. Ia juga tidak mungkin meminta suaminya untuk pulang ke Kupang, desanya.
Ini adalah awal semua belokan
takdir itu. Pelan tapi pasti nasib mulai menjauhi keinginannya. Setelah lahir
anak pertamanya, perubahan sikap keluarga suaminya lebih terasa. Selalu ada hal
yang tidak mereka sukai padanya. Mulai yang besar sampai yang remeh sekalipun
akan mendatangkan kemarahan. Kedengkian yang tidak kecil. Bahkan akan saat
sakitpun ia tetap saja mendapat perlakuan seperti itu.
Waktu itu, selepas Ashar ketika
kulihat perempuan ini duduk berdua dengan wajah sendu bersama salah satu paman
suaminya. Sebagai orang yang masih menjunjung tinggi etika, aku berpikir kurang
baik tentang itu. Namun, akan kuceritakan tentang itu di akhir tulisan ini kawan. Kuambil saja
anaknya, dan kubawa bermain di pantai. Pikirku, itu adalah urusan orang. Tidak
baik aku turut campur ke dalamnya.
Walaupun semua yang ia harapkan
tidak sejalan dengan kenyataan, ia tetap tegar. Rasa pengabdiannya pada suami
tak sediktpun berkurang. Melepas atau menyambut suaminya bekerja masih dengan
penuh perasaan sayang. Kalau kuingat ia melakukan semua itu, ada bagian hati
terasa perih. Dan aku berjanji karena semua ini, akan kuperlakukan perempuanku
sebagai bidadari. Aku tidak ingin menambah penderitaan yang sama kepada
perempuan-perempuan lain.
Kalau kuperhatikan, sepertinya perempuan ini tambah hari wajahnya semakin kuyu. Aura kecantikannya memang tidak hilang, tapi tampak jelas di sana telah banyak guratan-guratan kesedihan. Tubuhnya sangat kurus, hanya tulang terbalut kulit. Beban itu benar-benar memberatkannya. Baik pikiran atau pekerjaan keduanya telah membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan.
Sebagai upaya meringankan beban
suaminya, ia menjadi buruh cuci. Apa yang dapat kawan bayangkan dengan
perempuan miskin bersama anaknya yang masih kecil sedang mencuci pakaian orang
lain. Miris. Begitu aku melihatnya. Dan dalam bayanganku, aku takkan kuat
menjadi seperti itu. Terlalu berat, bahkan untuk mengangankannya.
Di sela pekerjaannya, masih sering terlihat senyum merekah di bibirnya. Menampakkan pada orang lain bahwa ia bahagia dengan apa yang ia jalani. Menepis dugaan dan anggapan siapa saja yang memperhatikannya. Meski semua tahu bahwa batinnya tidaklah begitu.
Dan pada puncaknya, pada tanggal
29 bulan terakhir tahun 2012 akhirnya ia menyerah. Memberikan tubuhnya pada
peluk bumi. Mengakhiri goresan-goresan takdir yang telah ia buat dalam
kehidupan ini. Ia telah pergi dengan meninggalkan jejak nama yang apabila orang
lain mengingatnya akan disamakan dengan pengabdian, kebaikan, dan rasa iba.
Tapi, tidak hanya itu bagiku. Namamu wahai perempuan akan kuingat sebagai
ketangguhan dan pengorbanan. Tangguh karena dalam kehidupan engkau melakukan
semuanya sendiri, tanpa keluh dan kesah. Juga tangguh karena dalam kematianpun
engkau sendiri, tanpa ada satupun keluargamu yang mengetahui.
Memang benar, terkadang sesuatu akan jelas ketika kematian telah datang. Begitu pula tentang dirinya. Telah terang bagiku bahwa ketika ia bersama orang lain dengan wajah sendu saat itu a butuh sesuatu yang menguatkan semangatnya. Mengisi kembali gairah hidupnya yang aus karena keadaan. Bukan untuk hal lain! Terkutuklah semua pikiran buruk yang muncul saat itu. Semoga setiap pikiran buruk yang ditujukan padanya akan dijadikan sebagai amal kebaikan baginya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar