Rabu, 02 Januari 2013

cerita tentang perempuan tangguh


Beberapa hari ini aku dihadapkan pada pribadi tangguh seorang wanita. Sisi lain kekuatan seorang perempuan yang membuktikan pernyataan bahwa makhluk terkuat di bumi adalah mereka. Makhluk Tuhan paling unik, dimana di balik deraian air matanya tersimpan kekuatan dahsyat yang bisa meluluhlantakkan gunung sekalipun. Kecantikan, keindahan, dan kepribadiannya telah banyak diceritakan. Mulai dari penaklukan menjadi kehancuran atau sebaliknya, dari kehancuran menjadi sebuah kemegahan. Apa yang dirasa tidak mungkin akan terasa mudah karena perempuan. Begitupun sesuatu yang begitu mudah bisa saja terasa sulit. Itu juga karena perempuan.
Perempuan tangguh yang ingin saya ceritakan sekarang adalah bukan tentang kepahlawanan, tetapi lebih kepada ketangguhannya dalam menyikapi hidup. Perempuan ini tidaklah mencita-citakan kemewahan dalam hidupnya. Keinginan terbesarnya hanyalah dihargai sebagaimana adanya. Namun, apalah daya ketika semua keinginannya hanya ada dalam angan belaka.

Sejak ia berpamitan kepada keluarganya lima tahun lalu, siapa sangka itulah pertemuan terakhir baginya. Hendak ia merantau ke negeri jiran meninggalkan keluarganya demi mencari penghidupan yang lebih baik. Rumahnya berada di sebuah desa pedalaman Kupang. Jauh dari hingar bingar.
Perempuan ini tenang dalam pembawaan, pelan dalam pembicaraan, dan sopan ketika berinteraksi dengan orang. Apapun kebaikan yang pernah dibayangkan manusia, mungkin ia telah memilikinya. Sifat ini bisa jadi terbentuk karena keadaan keluarganya. Bisa juga karena lingkungan tempat tinggalnya jauh dari keramaian dan hingar bingar. Sehingga memungkinkan ia untuk lebih menghayati keadaan di sekitarnya.
Keberangkatan dirinya meninggalkan kampung halaman diiringi tangis dan kesedihan oleh keluarganya. Dia menempuh jalur darat. Dari Kupang, Denpasar, Surabaya kemudian menuju Batam dengan menggunakan kapal laut. Ini dilakukannya untuk menghemat biaya. Apalagi modal transportasinya hasil pinjaman tetangga yang prihatin padanya.

Saya pernah diceritakan tentangnya ketika perjalanan. Perempuan ini tak pernah sedikitpun merasa kesusahan. Dalam perjalanannya ada saja seseorang yang selalu membantunya. Seperti mengangkatkan kopernya, membelikan makan untuknya ataupun hal remeh temeh lainnya. Mungkin ada benarnya juga bahwa ketika kecantikan dan kebaikan ada dalam seorang perempuan, maka laki-laki mana yang tega berbuat jahat padanya. Terbukti kebenarannya, orang sabar disayang Tuhan.
Tujuan perjalanan selanjutnya adalah Tanjung Pinang, pintu masuk negara Malaysia. Dan kota ini mungkin menjadi sejarah terindah yang pernah ia lalui. Di sini ia dipertemukan dengan seorang lelaki yang mampu merebut hatinya. Lelaki baik yang dirasa mampu menjaga hidup dan matinya. Hubungan itu berlanjut sampai mereka berdua masuk ke Malaysia, Kuala Lumpur tepatnya. Di sana mereka menikah. Menghabiskan masa-masa indah.

Keindahan pernikahan akan bertambah manakala ketika pohon cinta yang ditanam telah menghasilkan buah. Buah cinta itu telah bersemayam dalam rahimnya setelah hampir setahun mereka menikah. Bertambah lengkap apa yang ia rasa.

Pembersihan oleh pemerintah Malaysia terhadap para pendatang tanpa dokumen lengkap, membuat ia dan suaminya harus kembali ke tanah air. Bermaksud membina rumah tangga di tempat suaminya. Kepulauan kecil dan terpencil di laut Jawa. Meski ia tahu keadaan suaminya sama kekurangannya dengan dirinya, namun pengabdian ia tetap saja mau ikut ke sana. Ingin mendampingi kala sang suami senang atau susah, sedih atau bahagia. Ia juga tidak mungkin meminta suaminya untuk pulang ke Kupang, desanya.
Ini adalah awal semua belokan takdir itu. Pelan tapi pasti nasib mulai menjauhi keinginannya. Setelah lahir anak pertamanya, perubahan sikap keluarga suaminya lebih terasa. Selalu ada hal yang tidak mereka sukai padanya. Mulai yang besar sampai yang remeh sekalipun akan mendatangkan kemarahan. Kedengkian yang tidak kecil. Bahkan akan saat sakitpun ia tetap saja mendapat perlakuan seperti itu.
Waktu itu, selepas Ashar ketika kulihat perempuan ini duduk berdua dengan wajah sendu bersama salah satu paman suaminya. Sebagai orang yang masih menjunjung tinggi etika, aku berpikir kurang baik tentang itu. Namun, akan kuceritakan tentang itu di  akhir tulisan ini kawan. Kuambil saja anaknya, dan kubawa bermain di pantai. Pikirku, itu adalah urusan orang. Tidak baik aku turut campur ke dalamnya.
Walaupun semua yang ia harapkan tidak sejalan dengan kenyataan, ia tetap tegar. Rasa pengabdiannya pada suami tak sediktpun berkurang. Melepas atau menyambut suaminya bekerja masih dengan penuh perasaan sayang. Kalau kuingat ia melakukan semua itu, ada bagian hati terasa perih. Dan aku berjanji karena semua ini, akan kuperlakukan perempuanku sebagai bidadari. Aku tidak ingin menambah penderitaan yang sama kepada perempuan-perempuan lain.

Kalau kuperhatikan, sepertinya perempuan ini tambah hari wajahnya semakin kuyu. Aura kecantikannya memang tidak hilang, tapi tampak jelas di sana telah banyak guratan-guratan kesedihan. Tubuhnya sangat kurus, hanya tulang terbalut kulit. Beban itu benar-benar memberatkannya. Baik pikiran atau pekerjaan keduanya telah membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan.
Sebagai upaya meringankan beban suaminya, ia menjadi buruh cuci. Apa yang dapat kawan bayangkan dengan perempuan miskin bersama anaknya yang masih kecil sedang mencuci pakaian orang lain. Miris. Begitu aku melihatnya. Dan dalam bayanganku, aku takkan kuat menjadi seperti itu. Terlalu berat, bahkan untuk mengangankannya.

Di sela pekerjaannya, masih sering terlihat senyum merekah di bibirnya. Menampakkan pada orang lain bahwa ia bahagia dengan apa yang ia jalani. Menepis dugaan dan anggapan siapa saja yang memperhatikannya. Meski semua tahu bahwa batinnya tidaklah begitu.
Dan pada puncaknya, pada tanggal 29 bulan terakhir tahun 2012 akhirnya ia menyerah. Memberikan tubuhnya pada peluk bumi. Mengakhiri goresan-goresan takdir yang telah ia buat dalam kehidupan ini. Ia telah pergi dengan meninggalkan jejak nama yang apabila orang lain mengingatnya akan disamakan dengan pengabdian, kebaikan, dan rasa iba. Tapi, tidak hanya itu bagiku. Namamu wahai perempuan akan kuingat sebagai ketangguhan dan pengorbanan. Tangguh karena dalam kehidupan engkau melakukan semuanya sendiri, tanpa keluh dan kesah. Juga tangguh karena dalam kematianpun engkau sendiri, tanpa ada satupun keluargamu yang mengetahui.

Memang benar, terkadang sesuatu akan jelas ketika kematian telah datang. Begitu pula tentang dirinya. Telah terang bagiku bahwa ketika ia bersama orang lain dengan wajah sendu saat itu a butuh sesuatu yang menguatkan semangatnya. Mengisi kembali gairah hidupnya yang aus karena keadaan. Bukan untuk hal lain! Terkutuklah semua pikiran buruk yang muncul saat itu. Semoga setiap pikiran buruk yang ditujukan padanya akan dijadikan sebagai amal kebaikan baginya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar