Rabu, 13 Mei 2015

Mekanik Agung

Pagi ini, entah kenapa saya ingin sekali menulis. Sang Mekanik.

Ditemani lagu peterpan ‘tak ada yang abadi’, rasanya pas sekali untuk menekan-nekan tombol keyboard. Mengungkapkan apa yang ada di pikiran menjadi rangkaian kata dan kalimat. Mencurahkan semua bentuk kegamangan pencarian arti hidup dari remaja menjadi pemuda.

Mungkin, kata 'pencarian hidup' terlalu tinggi buat saya, tepatnya hanya ungkapan lebay semata. Tapi benar saya rasa, selama 26 tahun saya menghirup nafas sampai saat ini masih saja tidak tahu karakter saya seperti apa? Atau lebih tepatnya, masih mencari-cari formula yang tepat untuk saya pakai dalam hidup ini, untuk menggambarkan saya ini seperti apa dan punya pendekatan yang bagaimana.

Omong-omong tentang kata formula yang saya tulis di atas, terbersit untuk sedikit melontarkan pemahaman mengenai artinya. Bagi saya, formula saya artikan rumus.  Gampangnya,  aturan dasar sesuatu hal yang akan membawa pelakunya tetap on the track. Tetap di rel, dan bisa diprediksi.

Dan inilah pointnya, titik awal saya ingin menulis ini.

Newton, dalam iman Kristennya mempercayai Allah Yang Esa dan dengan Deismenya ia berkeyakinan bahwa semesta adalah kerja Tuhan. Ia percaya tidak perlu untuk melakukan ritual, dan yakin Tuhan tak akan secara konyol ikut campur usaha-usaha manusia dengan cara-cara tahayul.

Tentu beda iman Newton dengan iman saya, iman Newton adalah rasionalis. Namun bagi saya, mengutip Cak Nur, iman akan lebih terasa di jiwa apabila diterjemahkan dengan ritus ibadah. Karena ibadah adalah jembatan iman dan perbuatan nyata.

Konsekuensinya, bagaimanakah menghubungkan iman dan perbuatan dalam arti luas dalam hidup manusia? Atau bagaimanakah hubungan takdir dan usaha manusia, mengingat Tuhan menyuruh manusia berusaha dan di sisi lain Tuhan menyatakan dia mengetahui hal-hal yang akan datang.

Muncul pertanyaan, kalau Tuhan sudah tau bagaimana nasib manusia di masa mendatang lantas mengapa ia masih memerintahkan manusia bekerja (berusaha). Bukankah dengan seperti ini, hidup seolah-olah panggung sandiwara atau sebuah pentas drama dimana manusia hanya bermain peran dan menjadi wayang?

Pertanyaan seperti ini buat saya begitu pelik. Harus ada kesadaran dan kejujuran untuk memahaminya.

Analogi yang paling mendekati mungkin begini, seorang raja yang mempunyai kekuatan absolut di negerinya, bersifat asih kepada rakyatnya dan senantiasa memberikan kesejahteraan kepada yang dipimpinnya, pastilah akan menjadi raja yang dicintai. Rakyatnya tak akan pernah memprotes ketika dia mengambil kebijakan, karena mereka tau pasti kebijakan itu untuk kebaikan semua. Setiap tingkah raja berarti kebaikan untuk rakyatnya.

Manakala keadaan suatu negeri sudah sangat sentosanya, kira-kira masih adakah yang mempertanyakan tujuan tindakan sang raja?

Begitupun dengan Tuhan, titah Tuhan pasti untuk kebaikan hambanya. Tidak perlu mempertanyakan untuk apa Tuhan menciptakan saya kalau si penanya ujung-ujungnya mengatakan bahwa dunia panggung sandiwara. 

Itu tidak lain hanyalah nafsu terselubung, keinginan tersembunyi untuk menyamai Tuhan. Emangnya kamu siapa ingin tau tujuan Tuhan menciptakan alam? Dia punya hak veto kok untuk memutuskan semuanya, kamu masuk surga atau saya yang ke neraka.

Pertanyaan seharusnya adalah, bagaimana saya harus menjalani garis-garis Tuhan itu. Artinya, bagaimana saya seharusnya berproses bukan berhasil.

Dalam mengakomodir takdir Tuhan dan usaha manusia, ada baiknya melihat rumus-rumus dalam matematika. Yang seingat saya, di SMA disebut fungsi matematika.

Sebagai contoh, misalkan Tuhan menetapkan (mentakdirkan) masalah keuangan saya dengan rumus

F(X) = 7X + Y

Dimana F(X) = Rizki saya
         7 = ketetapan Tuhan (atau bahasa kerennya, Konstanta yang Tuhan berikan buat saya)
          X = besaran usaha saya dalam mencari rizki
          Y = faktor lain

Dimana ‘faktor lain’ tersebut bisa hasil do’a orang tua, atau do’a kita sendiri, atau karena pahala sedekah yang lalu-lalu, dan lain sebagainya. Sehingga ‘Y’ dapat saja berupa fungsi yang kompleks lagi. Misal

Y = [(10a + 3b) + c/2]2

Dimana 'a' adalah do’a orang tua, ‘b’ adalah do’a orang sekitar, ‘c’ merupakan derajat keihlasan amalan yang saya lakukan.

Sehingga, keseluruhan persamaan adalah takdir Tuhan, Tuhan yang menetapkan. Namun detail-detailnya sayalah yang menentukan. Mau baik atau buruk, Tuhan telah memberikan jalan.

Bagi saya, dengan menganalogikan persamaan ini dalam hubungannya antara takdir dan usaha manusia dapat mengakomodir dua pernyataan dalam al-quran yang sepertinya bertentangan. Di satu sisi bahwa yang merubah nasib manusia adalah usaha manusia sendiri, di sisi lain nasib manusia adalah Tuhan yang menentukan.

Kembali lagi kepada Pak Newton di atas.

Pendekatan yang diambil mbah kita ini adalah rasionalis, dan ia secara eksplisit menyatakan tidak mempercayai hal-hal mitis. Semua kegiatan observasinya terhadap gejala alam semata-mata untuk mencari Tuhan. Berusaha menemukan cara beragama yang baru.

Karena rasionalis itulah, ia menyebut kompleksitas alam semesta merupakan kerja Tuhan, dan menyebut Tuhan itu sendiri dengan ‘The Great Mechanic’. Mekanik yang agung.

Mungkin begini saja, apa yang dapat saya tulis hari ini. Karena wadah di otak saya kecil dan hanya mampu menampung  sekitar 700-an kata semata. Lagipula, kapasitas pengetahuan saya hanya berada di level yang dangkal-dangkal, jauh dari para terpelajar yang dalam tingkat keilmuannya.