Sabtu, 24 Februari 2018


inilah aku, Tuhanku..
Bagaimana aku bisa melupakanMu, sementara diriku adalah satu makhlukMu yang penakut. Takut akan siksa pedih dariMu, walau aku yakin kasihMu jauh lebih besar daripada yang aku tau. Tuhan, tatkala aku tidak benar-benar mengingatMu, bermandikan dosa yang engkau murkai maka masih adakah sejumput ridhaMu padaku?

Wahai dzat yang jiwaku ada di tanganMu..

Raihlah aku ke dalam samudera keabadianMu, agar aku bisa selalu merasakan tenang dalam setiap keadaan duniawi yang kuhadapi. Tanpa petunjukMu aku tak mampu untuk melangkah meniti jalan terjal dunia ini.

Tuhanku..

Aku tak akan lagi mempersoalkan takdirMu, kehendakMU, ataupun rasionalitas-rasionalitas lain yang mengarah meragukan diriMu. Aku memang tak dalam ilmu tentang itu, tapi percikan perasaanku telah menyadarkan orang yang bodoh ini bahwa semua cabang-cabang ilmu itu tak berguna tanpa ridhaMu. Aku lebih baik menyerahkan semua hidupku padaMu. Inilah aku, hambaMu. Rengkuhlah.. rengkuhlah Tuhan..

Tuhanku..

Ingin sekali aku memanggil engkau dengan sebutan kekasih.. tapi aku tau diri bahwa aku tak pantas mengharap cinta sejatiMu tersebab gelimang dosa ini. Maka Tuhanku, tunjukilah aku jalan yang lurus. Yaitu jalan yang dapat membersihkan aku dari noda-noda dosa menjijikkan, agar aku pantas untuk dicintaiMu.

Wahai penguasa..

Jikalau engkau tak menerima aku dalam nikmat kasihMu, di mana aku akan berlabuh??? Tak ada, Tuhanku.. tak ada!!!

Ke mana aku akan menuju jikalau aku tak mendapat tempat di sisiMu??? Tak ada, Tuhanku.. tak ada!!!

Lalu ketika engkau tak mau menggenggamku dalam lindunganMu, maka siapalah aku??? Siapa aku wahau Tuhan, ketika engkau mencampakkanku..

Wahai dzat yang karenaMu segala yang ada tercipta..

Aku lemah..

Aku lemah..

Aku lemah..

Kuatkan aku dengan secercah cahayaMu.

Rabu, 13 Mei 2015

Mekanik Agung

Pagi ini, entah kenapa saya ingin sekali menulis. Sang Mekanik.

Ditemani lagu peterpan ‘tak ada yang abadi’, rasanya pas sekali untuk menekan-nekan tombol keyboard. Mengungkapkan apa yang ada di pikiran menjadi rangkaian kata dan kalimat. Mencurahkan semua bentuk kegamangan pencarian arti hidup dari remaja menjadi pemuda.

Mungkin, kata 'pencarian hidup' terlalu tinggi buat saya, tepatnya hanya ungkapan lebay semata. Tapi benar saya rasa, selama 26 tahun saya menghirup nafas sampai saat ini masih saja tidak tahu karakter saya seperti apa? Atau lebih tepatnya, masih mencari-cari formula yang tepat untuk saya pakai dalam hidup ini, untuk menggambarkan saya ini seperti apa dan punya pendekatan yang bagaimana.

Omong-omong tentang kata formula yang saya tulis di atas, terbersit untuk sedikit melontarkan pemahaman mengenai artinya. Bagi saya, formula saya artikan rumus.  Gampangnya,  aturan dasar sesuatu hal yang akan membawa pelakunya tetap on the track. Tetap di rel, dan bisa diprediksi.

Dan inilah pointnya, titik awal saya ingin menulis ini.

Newton, dalam iman Kristennya mempercayai Allah Yang Esa dan dengan Deismenya ia berkeyakinan bahwa semesta adalah kerja Tuhan. Ia percaya tidak perlu untuk melakukan ritual, dan yakin Tuhan tak akan secara konyol ikut campur usaha-usaha manusia dengan cara-cara tahayul.

Tentu beda iman Newton dengan iman saya, iman Newton adalah rasionalis. Namun bagi saya, mengutip Cak Nur, iman akan lebih terasa di jiwa apabila diterjemahkan dengan ritus ibadah. Karena ibadah adalah jembatan iman dan perbuatan nyata.

Konsekuensinya, bagaimanakah menghubungkan iman dan perbuatan dalam arti luas dalam hidup manusia? Atau bagaimanakah hubungan takdir dan usaha manusia, mengingat Tuhan menyuruh manusia berusaha dan di sisi lain Tuhan menyatakan dia mengetahui hal-hal yang akan datang.

Muncul pertanyaan, kalau Tuhan sudah tau bagaimana nasib manusia di masa mendatang lantas mengapa ia masih memerintahkan manusia bekerja (berusaha). Bukankah dengan seperti ini, hidup seolah-olah panggung sandiwara atau sebuah pentas drama dimana manusia hanya bermain peran dan menjadi wayang?

Pertanyaan seperti ini buat saya begitu pelik. Harus ada kesadaran dan kejujuran untuk memahaminya.

Analogi yang paling mendekati mungkin begini, seorang raja yang mempunyai kekuatan absolut di negerinya, bersifat asih kepada rakyatnya dan senantiasa memberikan kesejahteraan kepada yang dipimpinnya, pastilah akan menjadi raja yang dicintai. Rakyatnya tak akan pernah memprotes ketika dia mengambil kebijakan, karena mereka tau pasti kebijakan itu untuk kebaikan semua. Setiap tingkah raja berarti kebaikan untuk rakyatnya.

Manakala keadaan suatu negeri sudah sangat sentosanya, kira-kira masih adakah yang mempertanyakan tujuan tindakan sang raja?

Begitupun dengan Tuhan, titah Tuhan pasti untuk kebaikan hambanya. Tidak perlu mempertanyakan untuk apa Tuhan menciptakan saya kalau si penanya ujung-ujungnya mengatakan bahwa dunia panggung sandiwara. 

Itu tidak lain hanyalah nafsu terselubung, keinginan tersembunyi untuk menyamai Tuhan. Emangnya kamu siapa ingin tau tujuan Tuhan menciptakan alam? Dia punya hak veto kok untuk memutuskan semuanya, kamu masuk surga atau saya yang ke neraka.

Pertanyaan seharusnya adalah, bagaimana saya harus menjalani garis-garis Tuhan itu. Artinya, bagaimana saya seharusnya berproses bukan berhasil.

Dalam mengakomodir takdir Tuhan dan usaha manusia, ada baiknya melihat rumus-rumus dalam matematika. Yang seingat saya, di SMA disebut fungsi matematika.

Sebagai contoh, misalkan Tuhan menetapkan (mentakdirkan) masalah keuangan saya dengan rumus

F(X) = 7X + Y

Dimana F(X) = Rizki saya
         7 = ketetapan Tuhan (atau bahasa kerennya, Konstanta yang Tuhan berikan buat saya)
          X = besaran usaha saya dalam mencari rizki
          Y = faktor lain

Dimana ‘faktor lain’ tersebut bisa hasil do’a orang tua, atau do’a kita sendiri, atau karena pahala sedekah yang lalu-lalu, dan lain sebagainya. Sehingga ‘Y’ dapat saja berupa fungsi yang kompleks lagi. Misal

Y = [(10a + 3b) + c/2]2

Dimana 'a' adalah do’a orang tua, ‘b’ adalah do’a orang sekitar, ‘c’ merupakan derajat keihlasan amalan yang saya lakukan.

Sehingga, keseluruhan persamaan adalah takdir Tuhan, Tuhan yang menetapkan. Namun detail-detailnya sayalah yang menentukan. Mau baik atau buruk, Tuhan telah memberikan jalan.

Bagi saya, dengan menganalogikan persamaan ini dalam hubungannya antara takdir dan usaha manusia dapat mengakomodir dua pernyataan dalam al-quran yang sepertinya bertentangan. Di satu sisi bahwa yang merubah nasib manusia adalah usaha manusia sendiri, di sisi lain nasib manusia adalah Tuhan yang menentukan.

Kembali lagi kepada Pak Newton di atas.

Pendekatan yang diambil mbah kita ini adalah rasionalis, dan ia secara eksplisit menyatakan tidak mempercayai hal-hal mitis. Semua kegiatan observasinya terhadap gejala alam semata-mata untuk mencari Tuhan. Berusaha menemukan cara beragama yang baru.

Karena rasionalis itulah, ia menyebut kompleksitas alam semesta merupakan kerja Tuhan, dan menyebut Tuhan itu sendiri dengan ‘The Great Mechanic’. Mekanik yang agung.

Mungkin begini saja, apa yang dapat saya tulis hari ini. Karena wadah di otak saya kecil dan hanya mampu menampung  sekitar 700-an kata semata. Lagipula, kapasitas pengetahuan saya hanya berada di level yang dangkal-dangkal, jauh dari para terpelajar yang dalam tingkat keilmuannya.

Kamis, 25 Desember 2014

hanya tulisan yang terlontar begitu saja, mungkin tidak tepat semantik, fonetik atau sintaksis.

Kemarin, saya sangat bahagia sebab Tuhan masih memberikan kesehatan kepada saya. Pikiran saya begitu tenang, dan badan pun terasa fit. Nikmat kesehatan inilah yang sering saya abaikan, saya lalaikan seperti anugerah ini sesuatu yang biasa saja. Padahal kalau mau jujur, tak ada yang lebih dibutuhkan dalam hidup selain nikmat sehat ini.

Orang-orang bilang saat kita kecil kita telah melakukan perjanjian dengan Tuhan, ketika kita dalam kandungan. Perjanjian itu meliputi seberapa jauh kita akan menaati Tuhan. Dan, menurut Dr. Zakir Naik di situlah letak kebodohan manusia. Sebab gunung saja akan runtuh jika diturunkan kepadanya risalah Tuhan. Memang ada kompensasi Tuhan kepada manusia, jika dia taat maka manusia akan diangkat lebih tinggi melebihi derajat malaikat. Namun jika sebaliknya akan jatuh lebih dalam melebihi binatang.

Dalam konteks inilah saya tersadar. Saya memang tidak melakukan pembunuhan dan kejahatan besar lainnya, tapi meremehkan Tuhan tetaplah sebuah kejahatan. Malah lebih besar mungkin dampaknya dibanding pemerkosaan. Walau sejatinya melakukan pemerkosaan juga sebuah peremehan terhadap Tuhan.

Mengabaikan nikmat sehat adalah salah satu peremehan terhadap Tuhan. Yang diakibatkan oleh kealpaan mengenai perjanjian dengan Tuhan dulu di dalam kandungan.

Selain ingat kepada Tuhan, tadi pagi saya sempat terenyuh dengan laki-laki sebaya yang berjualan lumpiya di pinggir jalan yang biasa saya lewati. Harga satu lumpiya 1000 rupiah. Saya tanyakan kepadanya sampai jam berapa dia jualan. Ternyata sampai sore.

Memang tidak tepat menilai orang lain dari kaca mata kita. Namun bukan berarti salah sama sekali. Gaya hidupnya tidak sama dengan saya. Bagi saya uang 5000 rupiah, apalagi hanya 1000 rupiah bisa dibilang tidak ada artinya. Bukannya mau sombong, tetapi memang kenyataannya kalau ada pecahan seribuan yang pertama ada di pikiran saya adalah; ini untuk parkir atau yang paling banter masuk kotak amal masjid.

Mari kita bayangkan uang 1000 rupiah bagi penjual lumpiya. Pasti sangat-sangat berharga. Pikirkan saja, dalam satu gerobaknya selama sehari mungkin saja dia maksimal, katakanlah 100 ribu rupiah. Kalau lumpiya itu milik sendiri maka seluruh keuntungannya masuk kantong sendiri. Kalau tidak, hanya berapa yang ia bawa pulang?

Jelas, standar hidup seperti ini buat saya tidak cocok. Saya menulis ini hanya untuk mencoba memahami keadaan orang lain, meski saya tau orang lain yang bekerja seperti ini tidak peduli dikasihani atau tidak. Ini penting buat saya sebagai bahan renungan. Bahwa kehidupan yang lebih baik (yang tentu dalam versi saya) seharusnya membuat kualitas hidup saya juga baik.

Namun faktanya, kecukupan duniawi ternyata tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan rohani. Selalu saja ada rasa kurang dalam materi. Keinginan, menjadi (tepatnya dijadikan) kebutuhan. Dan pada akhirnya tentu tidak jauh dari ketidakpuasan.

Pernah saya membaca kenapa sesuatu yang bisa dibeli dengan uang sekarang lebih dihargai dibanding sesuatu yang tidak dapat ditukar dengan alat bayar tersebut. Sebut saja kecantikan alami dan buatan. Ini karena pengaruh budaya hedonisme, konsumerisme, atau bahkan kapitalisme. Contohnya, Korea Utara dan Korea Selatan.

Sangat tren di Korea Selatan operasi plastik. Orang mungkin akan mengira operasi plastik merajalela karena ilmu kedokteran di sana tumbuh pesat sebagai penyebab pertama. Namun ada kemungkinan lain yang cenderung merupakan fakta, bahwa sebenarnya permintaan akan permak wajahlah yang merupakan penyebab pertama populernya operasi plastik di sana.  

Beda halnya di Korea Utara. Di sana cantik atau tidak menjadi prioritas. Ukuran wanita di sana adalah kontribusi untuk negara.

Saya jadi berpikir, sangat besar kemungkinannya bahwa tolak ukur kecantikan di masa sekarang adalah faktor bentukan. Bukan alamiah. jadi, seandainya pikiran kita tidak dibombardir oleh propaganda-propaganda ukuran kecantikan mungkin kita akan memandang bentuk fisik wanita adalah sama. Yang dimaksud di sini sama adalah kita tidak akan melihat wanita dari bentuk fisiknya sebagai prioritas.

Di sini, di Indonesia budaya hedon dan konsumerisme telah merusak tatanan sosial atau setidaknya etika. Karena ingin terlihat cantik, gadis-gadis belasan tahun berpakaian dan berdandan yang tidak semestinya. Sehingga terplesetlah ia ke dalam apa yang namanya cabe-cabean. Alih-alih menjadi gadis cantik yang jadi pujaan.

Fenoma salah kaprah seperti ini, adalah akibat buruk konsumerisme tak terkendali. Alih-alih kapitalisme membawa etos kerja positif, yang ada malah membuat keberingasan ekonomi dan kerusakan etika masyarakat. Harta telah menjadi titik berangkat untuk mengukur segalanya. Makanya tidak heran sekarang orang-orang berharta menjadi panutan.

Saya kadang muak dengan orang yang di pikirannya melulu harta. Pamer sana pamer sini kepemilikan. Padahal, apa sih manfaatnya? Toh sebenarnya wibawa dan penghormatan komunitas akan didapat dengan kebaikan dan ketegasan. Itupun kalau seseorang itu memandang perlu pentingnya nama baik dari masyarakat.