Pagi ini, entah kenapa saya ingin sekali menulis. Sang
Mekanik.
Ditemani lagu peterpan ‘tak ada yang abadi’, rasanya pas sekali
untuk menekan-nekan tombol keyboard. Mengungkapkan apa yang ada di pikiran
menjadi rangkaian kata dan kalimat. Mencurahkan semua bentuk kegamangan
pencarian arti hidup dari remaja menjadi pemuda.
Mungkin, kata 'pencarian hidup' terlalu tinggi buat saya, tepatnya
hanya ungkapan lebay semata. Tapi benar saya rasa, selama 26 tahun saya
menghirup nafas sampai saat ini masih saja tidak tahu karakter saya seperti
apa? Atau lebih tepatnya, masih mencari-cari formula yang tepat untuk saya
pakai dalam hidup ini, untuk menggambarkan saya ini seperti apa dan punya
pendekatan yang bagaimana.
Omong-omong tentang kata formula yang saya tulis di atas,
terbersit untuk sedikit melontarkan pemahaman mengenai artinya. Bagi saya,
formula saya artikan rumus.
Gampangnya, aturan dasar sesuatu
hal yang akan membawa pelakunya tetap on the track. Tetap di rel, dan bisa
diprediksi.
Dan inilah pointnya, titik awal saya ingin menulis ini.
Newton, dalam iman Kristennya mempercayai Allah Yang Esa dan
dengan Deismenya ia berkeyakinan bahwa semesta adalah kerja Tuhan. Ia percaya
tidak perlu untuk melakukan ritual, dan yakin Tuhan tak akan secara konyol ikut
campur usaha-usaha manusia dengan cara-cara tahayul.
Tentu beda iman Newton dengan iman saya, iman Newton adalah
rasionalis. Namun bagi saya, mengutip Cak Nur, iman akan lebih terasa di jiwa
apabila diterjemahkan dengan ritus ibadah. Karena ibadah adalah jembatan iman
dan perbuatan nyata.
Konsekuensinya, bagaimanakah menghubungkan iman dan
perbuatan dalam arti luas dalam hidup manusia? Atau bagaimanakah hubungan
takdir dan usaha manusia, mengingat Tuhan menyuruh manusia berusaha dan di sisi
lain Tuhan menyatakan dia mengetahui hal-hal yang akan datang.
Muncul pertanyaan, kalau Tuhan sudah tau bagaimana nasib
manusia di masa mendatang lantas mengapa ia masih memerintahkan manusia bekerja
(berusaha). Bukankah dengan seperti ini, hidup seolah-olah panggung sandiwara
atau sebuah pentas drama dimana manusia hanya bermain peran dan menjadi wayang?
Pertanyaan seperti ini buat saya begitu pelik. Harus ada
kesadaran dan kejujuran untuk memahaminya.
Analogi yang paling mendekati mungkin begini, seorang raja
yang mempunyai kekuatan absolut di negerinya, bersifat asih kepada rakyatnya
dan senantiasa memberikan kesejahteraan kepada yang dipimpinnya, pastilah akan
menjadi raja yang dicintai. Rakyatnya tak akan pernah memprotes ketika dia
mengambil kebijakan, karena mereka tau pasti kebijakan itu untuk kebaikan
semua. Setiap tingkah raja berarti kebaikan untuk rakyatnya.
Manakala keadaan suatu negeri sudah sangat sentosanya,
kira-kira masih adakah yang mempertanyakan tujuan tindakan sang raja?
Begitupun dengan Tuhan, titah Tuhan pasti untuk kebaikan
hambanya. Tidak perlu mempertanyakan untuk apa Tuhan menciptakan saya kalau si
penanya ujung-ujungnya mengatakan bahwa dunia panggung sandiwara.
Itu tidak
lain hanyalah nafsu terselubung, keinginan tersembunyi untuk menyamai Tuhan.
Emangnya kamu siapa ingin tau tujuan Tuhan menciptakan alam? Dia punya hak veto
kok untuk memutuskan semuanya, kamu masuk surga atau saya yang ke neraka.
Pertanyaan seharusnya adalah, bagaimana saya harus menjalani
garis-garis Tuhan itu. Artinya, bagaimana saya seharusnya berproses bukan
berhasil.
Dalam mengakomodir takdir Tuhan dan usaha manusia, ada
baiknya melihat rumus-rumus dalam matematika. Yang seingat saya, di SMA disebut
fungsi matematika.
Sebagai contoh, misalkan Tuhan menetapkan (mentakdirkan)
masalah keuangan saya dengan rumus
F(X) = 7X + Y
Dimana F(X) = Rizki saya
7 =
ketetapan Tuhan (atau bahasa kerennya, Konstanta yang Tuhan berikan buat saya)
X =
besaran usaha saya dalam mencari rizki
Y =
faktor lain
Dimana ‘faktor lain’ tersebut bisa hasil do’a orang tua,
atau do’a kita sendiri, atau karena pahala sedekah yang lalu-lalu, dan lain
sebagainya. Sehingga ‘Y’ dapat saja berupa fungsi yang kompleks lagi. Misal
Y = [(10a + 3b) + c/2]2
Dimana 'a' adalah do’a
orang tua, ‘b’ adalah do’a orang sekitar, ‘c’ merupakan derajat keihlasan
amalan yang saya lakukan.
Sehingga, keseluruhan persamaan adalah takdir Tuhan, Tuhan
yang menetapkan. Namun detail-detailnya sayalah yang menentukan. Mau baik atau
buruk, Tuhan telah memberikan jalan.
Bagi saya, dengan menganalogikan persamaan ini dalam
hubungannya antara takdir dan usaha manusia dapat mengakomodir dua pernyataan
dalam al-quran yang sepertinya bertentangan. Di satu sisi bahwa yang merubah nasib
manusia adalah usaha manusia sendiri, di sisi lain nasib manusia adalah Tuhan
yang menentukan.
Kembali lagi kepada Pak Newton di atas.
Pendekatan yang diambil mbah kita ini adalah rasionalis, dan
ia secara eksplisit menyatakan tidak mempercayai hal-hal mitis. Semua kegiatan
observasinya terhadap gejala alam semata-mata untuk mencari Tuhan. Berusaha
menemukan cara beragama yang baru.
Karena rasionalis itulah, ia menyebut kompleksitas alam
semesta merupakan kerja Tuhan, dan menyebut Tuhan itu sendiri dengan ‘The Great
Mechanic’. Mekanik yang agung.
Mungkin begini saja, apa yang dapat saya tulis hari ini. Karena
wadah di otak saya kecil dan hanya mampu menampung sekitar 700-an kata semata. Lagipula,
kapasitas pengetahuan saya hanya berada di level yang dangkal-dangkal, jauh
dari para terpelajar yang dalam tingkat keilmuannya.